“Kalau dilihat di Jabar, jumlah dokter memang masih kurang. Tetapi pertanyaannya, Jabar yang mana? Kalau Jabarnya area Bandung, pasti sudah penuh. Ini yang kami minta kepada Parahyangan (UNPAR,red) untuk bisa menyelesaikan gap ini. Kalau hanya ingin membuka dan tidak bertanggung jawab mendistribusikan ke daerah-daerah kosong, ya percuma. Di Jabar, di daerah-daerah tertentu, bahkan masih ada Puskesmas tanpa dokter. Saya berharap ini juga menjadi komitmen UNPAR. Dokter punya tanggung jawab moral, jangan sampai anak-anak ini pengen pakai titel dokter, tapi tidak melakukan apa-apa dan tidak bertanggung jawab dengan daerah yang kosong,” sambungnya.
drg. Arianti menuturkan, pencabutan moratorium perlu dilakukan karena dari Kemenkes melihat urgensi dari ketersediaan SDM kesehatan. Mulai dari jumlah, distribusi, hingga kualitas. Dia pun berharap, jika UNPAR nantinya mengantongi izin pembukaan dan menerapkan pendekatan AHS (Academic Health System) berbasis kewilayahan, maka dapat mendukung pemerintah dalam upaya pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan.
“Prinsipnya bukan hanya membuka dan menghasilkan dokter, tetapi juga mengisi tempat-tempat yang kosong. Ada bargaining position bahwa bagi universitas yang akan membuka, memastikan bahwa ada kerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat untuk nantinya didistribusikan ke wilayah masing-masing,” ucapnya.
Editor : Okky Adiana