Sosok figur yang dilukiskan semuanya hampir mirip, sosok perempuan terpejam. Dengan garis bibir dagu yang sama, seperti sketsa tapi menjadi utuh. Mengkolaborasikan teks dengan lukisan sangat membantu visual karya, apalagi karya-karya ekspresionis seperti ini, walaupun terkadang bisa mengganggu objek yang dilukis.
Goresan kwas yang membentuk figur-figur sangat spontan dan ekspresif, berbeda dengan karya sosok wajah merah yang berjudul “Aku Nesu” kemarahan terpendam yang membuat naik darah karena situasi covid-19 yang berkepanjangan saat itu. Karya ini cukup menarik sebagai pengalaman yang kolektif dirasakan semua orang pada saat itu, apalagi yang ikut terpapar dan menimpa keluarganya.
Karya-karya mementomori ini sangat religius, tampak dalam memvisualkannya seperti menghadirkan malaikat maut, teks puisi pada seluruh karya maknanya sangat jelas tentang religi, hampir menunjukan persoalan berserah diri kepada Tuhan. Karya-karya berjudul Bila Saatnya Tiba, Jiwa
Meninggalkan Raga, Raga Akan Mati, Namun Jiwa Akan Terus Abadi, juga karya Pergi Dijalan Jiwa, Raga Menjadi Onggokan Daging Semata, Mencari Yang Maha Kuasa.
Karya Pasrah akan dibawa kemana, kalau semua usaha sudah mentok, hanya satu kata saja “Pasrah”. Akan dibawa kemana semua diikuti saja. Hanya iman yang menyelamatkannya. Itulah cuplikan puisi yang ditulis dalam lukisan, dan masih banyak yang lain dari beberapa karya dimana seluruh lukisan itu tertulis puisi.
Isa mengatakan, bahwa saat situasi sudah dianggap normal karena pandemi sudah dianggap normal karena pandemi sudah bergeser menjadi endemi. Walaupun covid-19 belum hilang seratus persen dari negeri ini, Indonesia harus bangkit.
"Seni Rupa harus kembali tumbuh dan semarak, seniman kembali merdeka memamerkan karyanya, ekonomi seniman normal kembali. Kabarkan ke semua penjuru bumi, seni rupa Indonesia mulai terbebas dari keterpurukan akibat situasi covid-19, kembali lagi normal dan semangat," pungkas Isa.
Editor : Okky Adiana
Artikel Terkait