BANDUNG, iNewsCimahi.id - Kereta Cepat Jakarta-Bandung ditargetkan akan mulai beroperasi dan digunakan masyarakat pada pertengahan 2023.
Berbagai wacana untuk menarik penumpang kereta cepat mulai muncul, salah satunya adalah menutup operasional KA Argo Parahyangan. Wacana ini sontak menuai pro dan kontra.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Prof. Arief Anshory Yusuf, PhD, mengatakan, pemerintah jangan terburu-buru mematikan operasional KA Argo Parahyangan saat kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi.
“Biarkan konsumen memilih dahulu kereta cepat atau Argo Parahyangan. Bila betul nanti kereta cepat lebih baik (dari kecepatan, praktikalitas, dan keterjangkauan), maka konsumen akan beralih secara alamiah. Jangan terburu-buru kalau belum jelas terbukti. Kebijakan jangan hanya dibikin berbasis asumsi,” kata Prof. Arief, dari laman resmi Unpad, Rabu (7/12/2022).
Prof. Arief menilai, layanan kereta cepat dan Argo Parahyangan tidak persis sama dan ada heterogeneitas dalam kebutuhan konsumen pengguna. Argo Parahyangan memberikan transportasi dari pusat kota ke pusat kota, dalam hal ini dari Stasiun Bandung ke Stasiun Gambir, tanpa harus transit menggunakan moda transportasi pengumpan (feeder).
Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menutup layanan Argo Parahyangan, Prof. Arief berpendapat, secara ekonomi, sangat mungkin akan banyak segmen penumpang beralih ke moda transportasi lain, salah satunya adalah angkutan shuttle bus.
Untuk itu, menutup layanan Argo Parahyangan yang mampu mengangkut sekira 8.000 penumpang per hari untuk beralih ke layanan kereta cepat dengan target angkut 30.000 penumpang per hari bukan menjadi solusi yang baik.
Lebih lanjut Ketua Dewan Profesor Unpad tersebut menjelaskan, sebagai monopoli jasa perkeretaapian di Indonesia, Pemerintah melalui PT KAI perlu mementingkan kepentingan konsumen ketimbang pemilik modal.
Menghilangkan Argo Parahyangan menurutnya akan berpotensi menyengsarakan konsumen. “Monopoli yang terjadi secara alami seperti jasa kereta api ini perlu diregulasi atau dikelola monopolinya oleh negara agar kepentingan konsumen terjaga.
Tetapi kalau pengelolaan monopoli ini malah mengabaikan kepentingan konsumen ini jadi regulasi monopoli salah kaprah. Kalau struktur pasarnya ada pesaing, masyarakat akan punya alternatif. Tetapi ini ‘kan tidak,” tegasnya.
Alternatif solusi yang bisa dilakukan salah satunya meningkatkan aksesibilitas kereta cepat dan meningkatkan efisiensi dan kenyaman dari transportasi pengumpan agar penumpang dapat beralih secara alamiah ke kereta cepat.
“Pastikan agar waktu tempuh point-to-point jauh lebih cepat daripada Argo. Misalnya, feeder-nya harus super efisien dan memberikan kenyamanan pada penumpang, sehingga penumpang punya pilihan tanpa perlu mematikan alternatif moda lain,” jelasnya.
De-Development
Prof. Arief mengatakan, pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung jangan sampai menjadi de-development. De-development merupakan pembangunan yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak utama de-development adalah kesejahteraan masyarakat yang stagnan bahkan berkurang meski pembangunan infrastruktur dilakukan.
"Atas nama pembangunan seolah-olah ada pembangunan infrastruktur transportasi canggih, tapi tidak ada maknanya. Kesejahteraan malah turun, safety malah memburuk. Kereta cepat nampak canggih tapi akhirnya rakyat malah balik lagi ke mobil,” kata Prof. Arief. Selain itu, pembangunan kereta cepat juga harus mempertimbangkan inklusivitas.
Menurut Prof. Arief, pembangunan yang baik bukan semata meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengaplikasikan kecanggihan teknologi, tetapi juga mampu memberikan pemerataan. Pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan tiket yang mahal dan menutup layanan Argo Parahyangan yang lebih murah, akan sulit memberikan pemerataan, terutama bagi masyarakat yang memiliki anggaran terbatas.
“Tidak semua orang mampu merogoh kocek lebih banyak untuk membeli tiket. Konsumen itu heterogen dari segi kebutuhan dan penghasilan,” pungkasnya.
Editor : Okky Adiana