“Ini menurut saya adalah masalah. Sebab kehadiran instansi vulkanologi itu justru untuk memberikan peringatan sedini mungkin sebelum letusan terjadi, berdasarkan hasil pengamatan pemantauan melalui pos pengamatan yang ada,” jelasnya.
Karena itu, Prof. Nana mempertanyakan optimalisasi sistem peringatan dini sebelum erupsi Semeru terjadi. Sistem peringatan dini sebaiknya dikeluarkan sedini mungkin sebelum erupsi terjadi sampai ke masyarakat, sehingga proses evakuasi lebih cepat dilakukan.
Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Unpad itu melanjutkan, apakah setiap daerah sudah diberikan otonomi dalam mengurus pemantauan kegunungapian. Otonomi ini diperlukan agar penyampaian informasi peringatan dini ke masyarakat akan menjadi lebih cepat.
"Sebagai contoh kita lihat penaikan status itu gunungapi ‘kan itu oleh instansi pusat. ‘Kan artinya itu ada rentang birokrasi laporan dari pos pengamatan yangg notabene ada di daerah ada disekitar Semeru, lapor ke kepala vulkanologi terus ke atas lagi ke Badan Geologi, itu terlalu jauh,” kritiknya.
Sistem peringatan dini yang optimal juga perlu didukung oleh sarana dan sumber daya manusia, seperti ketersediaan pos dan peralatan pengamatan, hingga dukung ahli vulkanologi yang secara spesifik mengetahui seluk beluk karakter dari satu gunung berapi dan mau bekerja di wilayah pengamatan.
“Dulu mungkin sekolah geologi belum banyak, sekarang sudah puluhan program studi teknik geologi menyebar di Indonesia,” sambungnya.
Selain sistem peringatan dini yang harus optimal, Prof. Nana juga mendorong adanya peta detail mengenai aliran lahar. Adanya material erupsi menumpuk di tubuh gunung berapi yang berupa endapan awan panas, ditambah dengan cuaca ekstrem sangat rentan terjadi luapan lahar panas maupun dingin.
“Pemetaan potensi lahar panas dan dingin harus selalu di-update,” pungkasnya.
Editor : Okky Adiana
Artikel Terkait