Ada pula kekhawatiran mengenai akses terhadap layanan KRL bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti anak-anak, lansia, kaum disabilitas, atau masyarakat yang belum memiliki NIK maupun KTP elektronik. "Bagi golongan tertentu, bisa dikecualikan dari skema ini dan dapat diberikan kebijakan tarif yang lebih sederhana. Atau bahkan gratis," ucapnya.
Sehingga, lanjut Prof. Miming, kebijakan ini dapat lebih berfokus pada penumpang dengan usia produktif, yang memiliki mobilitas tinggi, dan dengan kemampuan ekonomi yang beragam.
Solusi Alternatif Melalui Voucher Subsidi
Salah satu solusi yang beliau anggap lebih aman dan lebih tepat sasaran adalah dengan memberikan voucher subsidi kepada penumpang yang memerlukan. Data NIK pun tetap dapat digunakan untuk mendefinisikan kelompok mana yang layak mendapatkan subsidi.
"Mereka yang teridentifikasi berpenghasilan rendah bisa diberi voucher yang dapat digunakan untuk membeli tiket KRL dengan harga lebih murah, sementara penumpang dengan penghasilan lebih tinggi tidak mendapat voucher. Skema ini tidak hanya lebih tertib, tetapi juga mengurangi potensi kerusuhan di lapangan karena distribusi subsidi dilakukan di luar sistem operasional KRL," bebernya.
Selain itu, beliau pun mengingatkan bahwa yang terpenting adalah bukan membedakan tarif dalam satu sistem layanan berdasarkan NIK. Melainkan melalui diversifikasi jenis layanan transportasi. Sebut saja dengan adanya kelas bisnis dan ekonomi seperti yang telah diterapkan di beberapa jenis transportasi.
"Sehingga dengan cara ini penumpang dapat memilih layanan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka," ungkapnya.
Beliau pun menyampaikan bahwa kebijakan tiket KRL dengan sistem NIK ini perlu dikaji lebih dalam sebelum diterapkan, agar penerapannya dapat berjalan lancar, tepat sasaran, efisien, dan tidak menimbulkan masalah sosial di kemudian hari.
Editor : Okky Adiana