JAKARTA, iNewsCimahi.id - Tagar #KaburAjaDulu viral di media sosial sebagai bentuk frustrasi anak muda terhadap kondisi ekonomi, sulitnya lapangan kerja, mahalnya pendidikan, serta rendahnya gaji. Banyak yang melihat bekerja di luar negeri sebagai alternatif untuk kehidupan yang lebih baik.
Dr. Muhammad Yorga Permana, Ketua Dewan Pembina Indonesia Juara Foundation sekaligus Dosen Peneliti Tenaga Kerja di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), menyoroti bahwa isu ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi cerminan dari kondisi ekonomi dan sosial yang terus memburuk bagi generasi muda.
Yorga mengidentifikasi tiga faktor utama yang mendorong anak muda mencari peluang di luar negeri.
Pertama, kebijakan pemerintah dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja. Kemarahan anak muda telah terakumulasi sejak era COVID-19, terutama karena kebijakan yang dirasa tidak pernah berpihak kepada mereka.
Kedua, meningkatnya kesempatan kerja di luar negeri. “Fenomena ini bukan hal baru, tetapi kini menjadi gunung es yang meledak akibat kombinasi angka pengangguran yang tinggi dan akses informasi yang lebih terbuka tentang peluang kerja serta beasiswa luar negeri,” jelasnya.
Ketiga, kesiapan anak muda dalam menghadapi dunia kerja menjadi faktor krusial. Persiapan yang matang diperlukan agar mereka lebih siap dan tangguh dalam menghadapi tantangan di dunia kerja. Artinya rasa frustasi akibat persiapan yang belum cukup di masa transisi sekolah ke dunia kerja turut menjadi pendorong kemarahan mereka terhadap ketidakpastian iklim dunia kerja.
Saat ini, kondisi pasar kerja Indonesia menghadapi tantangan serius. “Pekerjaan layak di Indonesia sangat terbatas. Angka pengangguran resmi mencapai 7,2 juta orang, tetapi ada yang disebut hidden unemployment yang jumlahnya diperkirakan mencapai 12–15 juta orang. Selain itu, hanya 40% dari pekerjaan yang masuk kategori sektor formal, sementara 60% lainnya merupakan pekerjaan informal. Jika bicara sektor formal, sebenarnya hanya 24% dari mereka yang benar-benar memiliki kontrak kerja formal,” papar Yorga.
Situasi ini semakin diperburuk dengan gelombang PHK. Data resmi pemerintah menunjukkan bahwa lebih dari 80.000 orang telah kehilangan pekerjaan di tahun 2024, dan kemungkinan jumlahnya lebih besar.
Jika rasa frustrasi ini dikaitkan dengan realitas ekonomi dan politik, dampaknya bisa sangat luas. Ketika seseorang tidak memiliki pekerjaan, maka mereka tidak memiliki pendapatan. Hal ini menyebabkan melemahnya kelas menengah, yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Tanpa adanya kelas menengah yang kuat, daya dukung terhadap demokrasi akan lemah; sehingga memperumit kondisi politik, serta mempersempit ruang untuk menyuarakan kritik.
Sementara itu, berbagai program pemerintah yang sering dipromosikan di media sosial belum cukup meyakinkan anak muda. Banyak yang merasa bahwa program-program tersebut lebih bersifat simbolis tanpa dampak nyata. “Saya senang anak muda kritis, karena itu bentuk kontrol sosial. Tetapi mereka butuh kebijakan yang benar-benar bisa dirasakan dampaknya, bukan sekadar gimmick,” ujarnya.
Ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 dapat terancam jika kondisi ini terus berlanjut. Target Indonesia Emas adalah 80% penduduk berada di kelas menengah, tetapi di tahun 2019 jumlahnya baru mencapai 21%. Bahkan, menurut data BPS terbaru, angka tersebut justru menurun menjadi 17% di tahun 2024. Indikator ini menunjukkan bahwa Indonesia belum berada di jalur yang diharapkan untuk mencapai visi tersebut.
Menurut Yorga, bekerja di luar negeri bisa menjadi solusi jika dilakukan dengan persiapan matang. “Jika tidak siap, mereka bisa berakhir sebagai tenaga kerja ilegal. Namun, bagi knowledge workers, ini bisa menjadi kesempatan besar,” katanya.
Ia menambahkan bahwa bekerja di luar negeri dapat memberikan manfaat bagi Indonesia melalui brain circulation. “Diaspora dapat berkontribusi melalui jejaring internasional, transfer teknologi, atau bahkan kembali ke tanah air untuk membangun industri,” jelasnya.
Meskipun bekerja di luar negeri bisa menjadi pilihan, Yorga menekankan bahwa ini bukan jalan pintas. “Tantangan seperti loyalitas, persaingan ketat, dan tuntutan keterampilan harus dihadapi. Anak muda perlu meningkatkan daya saing dengan keterampilan digital, bahasa Inggris, dan kepercayaan diri,” katanya.
Pada akhirnya, yang bisa membuat anak muda lebih bahagia adalah peningkatan pendapatan, dan itu hanya bisa dicapai melalui keterampilan. Ini menjadi pengingat bagi mereka yang meremehkan kondisi kelas menengah dan anak muda. Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar keluhan, tetapi realitas yang dihadapi generasi muda Indonesia saat ini.
Editor : Okky Adiana
Artikel Terkait