BANDUNG, iNewsCimahi.id - Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program ITB Tanggap Bencana bergerak cepat membantu korban longsor di Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (29/3/2024).
Bencana longsor terjadi pada Minggu (24/3/2024) yang mengakibatkan beberapa desa terdampak, yakni Desa Cibenda di Kecamatan Cipongkor serta Desa Sukaresmi, Cibitung, dan Cinengah di Kecamatan Rongga.
Dilansir dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPB), sebanyak 10 orang hilang, 3 orang luka berat, dan 33 orang luka ringan. Per 3 April 2024, sebanyak 8 jenazah korban berhasil dievakuasi oleh tim SAR, namun 2 korban lainnya belum ditemukan. Di sisi lain, pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung Barat (KBB) tetap bersiaga hingga status tanggap darurat berakhir pada 7 April 2024. Longsor juga menimbulkan dampak terhadap 520 KK atau 1630 warga yang terdiri atas 117 rumah rusak berat, 50 rumah rusak sedang, dan 190 rumah ringan, berikut kerusakan 1 tempat ibadah, 1 fasilitas Pendidikan, dan 1 jembatan. Potensi longsor susulan masih mengancam ratusan rumah di sekitar lokasi kejadian yang mengakibatkan warga terpaksa mengungsi.
Dr. Lulu Lusianti Fitri, M.Sc. dari Kelompok Keahlian Fisiologi, Perkembangan Hewan dan Sains Biomedika, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB menyatakan terdapat sejumlah kegiatan yang dilaksanakan dalam program ITB Tanggap Bencana. Program tersebut melibatkan dua mahasiswa magister Biologi dan tiga mahasiswa program studi sarjana Biologi yang berkolaborasi dengan dua dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Berikut berbagai kegiatan yang dilaksanakan:
1. Pemberian bantuan untuk korban longsor
LPPM ITB memberikan bantuan langsung berupa kebutuhan pokok dan sekunder kepada para korban.
2. Screening Gejala Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang mungkin terjadi pada orang yang pernah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis, yang berbahaya secara emosional atau fisik atau mengancam jiwa dan dapat mempengaruhi kesejahteraan mental, fisik, sosial, dan/atau spiritual.
Penyintas bencana rentan mengalami serangkaian gejala PTSD berkelanjutan sebagaimana re-experiencing, avoidant, negative cognitive/emotional, maupun arousal. Oleh karena itu, dilakukan screening gejala PTSD pada penyintas longsor di Desa Cibenda dilakukan melalui instrumen kuesioner PTSD Checlist for DSM-5 (PCL-5, Past Week Version) (https://www.ptsd.va.gov/) yang diikuti dengan pengukuran gelombang otak melalui perangkat electroencephalograf (EEG). Screening dilakukan kepada korban terdampak berat yang kehilangan tempat tinggal serta memiliki kerabat yang menjadi korban jiwa bencana tersebut.
“Dari hasil screening awal, sebanyak 53% penyintas menunjukkan gejala PTSD, dan 75% dari penyintas tersebut adalah orang dewasa,” ungkap Dr. Lulu, Rabu (3/4/2024). Penyintas memperlihatkan kecenderungan lebih tinggi pada gejala avoidant (meredam memori traumatis dengan aktivitas lain secara komunal) dan arousal (mengalami ketegangan yang dominan sehingga lebih waspada dan menunjukkan gejala insomnia).
3. Praktik Spiritual-Emotional Freedom Technique (S-EFT)
Dr. Lulu memberikan pelatihan S-EFT, sebuah teknik terapi mengetuk di sekitar jalur energi tubuh untuk membantu penyintas menurunkan stres dan trauma. Praktik tersebut disertai berdoa dengan kata-kata positif atau antonim dari berbagai perasaan negatif yang sedang dialami oleh penyintas bencana longsor.
Selain itu, dilakukan cek kesehatan dan pemberian obat yang dilakukan oleh dua dokter dari Fakultas Kedokteran Unpad.
Di sisi lain, setelah kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan, Dr. Lulu berharap komunikasi antara Pemerintah Daerah dengan institusi pendidikan, khususnya ITB, semakin terjalin lebih baik. Beliau menyatakan, institusi pendidikan dapat berperan dalam memberikan solusi terhadap permasalah yang muncul di masyarakat. Namun, kebijakan, koordinasi, dan pelaksanaannya perlu diinisiasi oleh Pemerintah Daerah dan direspons positif oleh ITB.
Selain itu, pelibatan mahasiswa dalam kegiatan pengabdian masyarakat dapat mengajak mahasiswa ITB mampu berpikir kritis setelah melihat berbagai masalah di masyarakat secara langsung. Mahasiswa juga dapat ikut terlibat dalam penanganan masalah masyarakat melalui beberapa inovasi sains, teknologi, seni, desain, dan manajemen. Beliau pun berharap seluruh pihak dapat lebih empati terhadap korban bencana, karena kondisi penyintas yang selain kehilangan saudara dan tempat tinggal, mereka pun belum tahu sampai kapan akan tinggal di pengungsian.
Editor : Okky Adiana
Artikel Terkait