BANDUNG, iNewsCimahi.id - Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian kesehatan drg. Arianti Anaya, M.KM berharap Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) membantu pemerintah untuk menyelesaikan kekurangan dan gap kebutuhan dokter di Indonesia jika resmi mengantongi izin pembukaan Fakultas Kedokteran nantinya.
drg. Arianti menuturkan saat ini ada 3 isu besar terkait sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang perlu diselesaikan.
Hal tersebut mengemuka dalam giat “Visitasi Kementerian Kesehatan dalam Rangka Rekomendasi Pembukaan Fakultas Kedokteran UNPAR”, di Gedung PPAG UNPAR, dari laman resmi UNPAR, Senin (19/12/2022).
Selain drg. Arianti, turut hadir pula Direktur Penyediaan Tenaga Kesehatan pada Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan Kemenkes Dra. Hj. Oos Fatimah Rosyati, M.Kes.
Sebagaimana diketahui, usai Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 471/P/2022 tentang Pencabutan Moratorium Pembukaan Program Studi Kedokteran dan Program Studi Kedokteran Gigi ditetapkan pada 2 Desember 2022 lalu, UNPAR kini tengah mempersiapkan pembukaan Fakultas Kedokteran. Berbagai persyaratan pun harus dipenuhi termasuk rekomendasi dari Kementerian Kesehatan.
“Persyaratan di Kemendikbudristek ini salah satunya adalah rekomendasi dari Kementerian Kesehatan. Dalam hal ini kami diminta untuk selektif memberikan rekomendasi,” tutur drg. Arianti.
drg. Arianti menuturkan, ada 3 isu besar yang harus diselesaikan. Mulai dari kebutuhan tenaga kesehatan yang masih terbatas, distribusi yang belum merata, hingga kualitas yang belum berstandar nasional. Jika merujuk standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), maka rasio dokter umum dan penduduk idealnya 1:1000. Rasio ini menunjukkan harus ada 1 dokter untuk melayani 1.000 penduduk.
Berdasarkan data yang dirilis Kemenkes, lanjut dia, Jawa Barat kekurangan dokter mencapai 36.497. Saat ini, ketersediaan dokter baru 4.043. Kondisi tersebut dihitung dari rasio penduduk Jabar yang jumlahnya 50.540.100 juta jiwa, dengan perbandingan rasio 1:1000, maka idealnya jumlah dokter yang tersedia 50.540.
“Kalau dilihat di Jabar, jumlah dokter memang masih kurang. Tetapi pertanyaannya, Jabar yang mana? Kalau Jabarnya area Bandung, pasti sudah penuh. Ini yang kami minta kepada Parahyangan (UNPAR,red) untuk bisa menyelesaikan gap ini. Kalau hanya ingin membuka dan tidak bertanggung jawab mendistribusikan ke daerah-daerah kosong, ya percuma. Di Jabar, di daerah-daerah tertentu, bahkan masih ada Puskesmas tanpa dokter. Saya berharap ini juga menjadi komitmen UNPAR. Dokter punya tanggung jawab moral, jangan sampai anak-anak ini pengen pakai titel dokter, tapi tidak melakukan apa-apa dan tidak bertanggung jawab dengan daerah yang kosong,” sambungnya.
drg. Arianti menuturkan, pencabutan moratorium perlu dilakukan karena dari Kemenkes melihat urgensi dari ketersediaan SDM kesehatan. Mulai dari jumlah, distribusi, hingga kualitas. Dia pun berharap, jika UNPAR nantinya mengantongi izin pembukaan dan menerapkan pendekatan AHS (Academic Health System) berbasis kewilayahan, maka dapat mendukung pemerintah dalam upaya pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan.
“Prinsipnya bukan hanya membuka dan menghasilkan dokter, tetapi juga mengisi tempat-tempat yang kosong. Ada bargaining position bahwa bagi universitas yang akan membuka, memastikan bahwa ada kerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat untuk nantinya didistribusikan ke wilayah masing-masing,” ucapnya.
Menurut dia, Perguruan Tinggi memiliki tanggung jawab menyelesaikan permasalahan bangsa, di antaranya terkait sektor kesehatan. drg. Ariyanti pun menyarankan perlunya menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah setempat agar konsep AHS bisa berjalan dengan maksimal.
“Mudah-mudahan apa yang menjadi concern pemerintah ini bisa kita satu pemikiran. Karena kita merasa ini tidak bisa selesai dengan hanya (kampus) negeri, tetapi swastanya harus bisa bertanggung jawab juga. Saya berharap UNPAR ini nantinya ikut membantu pemerintah untuk menyelesaikan kekurangan dan gap tenaga kesehatan ini dan saya berharap pola yang dibuat UNPAR ini tentunya bisa menjadi contoh untuk universitas swasta lainnya,” tuturnya.
Sementara itu, Rektor UNPAR Mangadar Situmorang, Ph.D. menuturkan, pencabutan moratorium menjadi kabar baik bagi UNPAR. Rektor berharap, segala persiapan pembukaan FK UNPAR yang selama ini mendapatkan pendampingan dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dapat membawa hasil signifikan.
“Keinginan yang sangat lama bagi UNPAR untuk membuka FK ini. Mulai dari 2019, kami membulatkan tekad. Pencabutan moratorium pun menjadi berita baik untuk kami dengan segala persiapan dan arahan dari FK UNPAD,” ujar Rektor.
Usai melakukan diskusi, Dirjen Tenaga Kesehatan beserta tim meninjau langsung lokasi gedung FK UNPAR. Termasuk mengecek kesiapan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran, seperti ruang kelas hingga laboratorium.
Editor : Okky Adiana
Artikel Terkait