Begini Kisah Dua Orang yang Mendedikasikan di Percetakan Braille

BANDUNG, iNewsCimahi.id - Sejak 21 tahun silam, pengalih huruf Braille yakni Kokom telah mendedikasikan untuk bekerja di percetakan Braille milik Kementerian Sosial (Kemensos) di bawah naungan Wyata Guna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung.
Sebelum pindah di komplek Wyata Guna, Kota Bandung, percetakan Braille yang berdiri sejak 1959 ini, dulunya berpusat di Jalan Kerkof nomor 21, Kota Cimahi Selatan.
Sebagai catatan, huruf Braille adalah sejenis tulisan sentuh yang digunakan oleh tunanetra. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya.
Lantas mengapa Kokom tertarik pada huruf-huruf Braille tersebut. Menurut dia, dirinya ingin memuliakan pada orang-orang disabilitas, khususnya tunanetra agar bisa membaca dengan baik. Hal inilah yang membuat Kokom tergerak hatinya untuk bekerja di percetakan Braille
"Awalnya sih saya nggak tahu Braille itu apa. kok belajarnya titik-titik, ternyata setelah diselidiki itu ada fungsinya. Kalau misalnya kita harus dibaca melalui mata, kalau disabilitas itu memakai kedua tangan," jelas Kokom yang juga berdomisili Cimahi.
Sebetulnya, lanjut dia, mengenal huruf Braille itu gampang-gampang susah. Braille adalah sistem tulisan dan cetakan yang digunakan oleh Disabilitas Netra, berupa kode yang terdiri atas enam titik dalam berbagai kombinasi yang ditonjolkan pada kertas sehingga dapat diraba.
"Gampangnya, huruf Braille itu sudah mempunyai rumus dan memiliki enam titik yang terdiri dari 1,2,3,4,5,6. Nah, titik yang 1,2,3,4,5,6 itu disatukan menjadi sebuah kalimat. Kita harus menguasai belajar Braille itu. Susahnya paling seperti rumus-rumus seperti Biologi, matematika dan lainnya. Itu harus belajar," papar Kokom.
Dia menambahkan, keunikan dari huruf Braille itu sendiri adalah, huruf Braille itu tidak bisa diperlebar atau diperkecil, karena sudah ada standarnya. Ukuran huruf Braille itu sudah dikhususkan.
"Kalau sulitnya itu dari bahan. Nah, itu harus berkaitan dengan bahan dan itu kertasnya ukuran kurang lebih 150 gram," jelasnya.
Terkait mesin yang digunakan untuk menggunakan huruf Braille, lanjut Kokom, mesin ini semuanya dari luar negeri. Seandainya ada komponen yang rusak, dirinya harus pesan dari luar negeri.
"Dan itu tidak semudah yang kita beli di Indonesia, harus sebulan pesannya. Mesinnya dari Swedia dan Norwegia," ucapnya.
Dia berharap, bahwa dengan adanya percetakan Braille yang ada di Indonesia ini, semoga literasi itu bisa berkembang lagi dan lebih dikenal oleh disabilitas netra.
"Mungkin kan sekarang zamannya digital, tapi tetap Braille itu untuk dasar bisa membaca," ucapnya.
Selain Kokom, ada pula Editor Buku Braille Asep Saripudin. Menurut dia, sebagai editor buku Braille, dirinya memeriksa
buku-buku Braille hasil pengetikan para pengalih haruf.
"Jadi ceritanya kan dari buku awas kan, diketik atau dialihkan oleh teman-teman pengalih huruf, udah itu di cetak jadi sebuah master copy. Nah sebelum diperbanyak, itu kan harus dipastikan tulisan Braille itu tidak ada yang salah, maka saya dalam hal ini bertugas untuk memeriksa dari huruf pertama sampai huruf terakhir dibuku tersebut, ada kesalahan nggak. Kalau ada kesalahan harus diperbaiki," papar Asep.
Menurut dia, kesulitannya memang tidak terlalu banyak. Akan tetapi yang menjadi kendala itu terkait tulisan Braille itu sendiri, dikarenakan pembuatannya oleh mesin.
"Meskipun tulisannya udah benar nih, misalnya huruf T, tapi ada sesuatu di mesin, sehingga dia menjadi haruf S. Itulah menjadi kesulitan tersendiri bagi kami," jelas Asep.
Sebagai editor, Asep berharap, bahwa jika ada kendala, dapat direspon dengan sebaik-baiknya.
"Misalnya ada keluhan dari kami, inginnya direspon dengan cepat supaya ketidknyamanan itu tidak berlarut-larut," pungkasnya.
Editor : Okky Adiana